Rabu, 23 Maret 2016

Konsep Normal dan Abnormal dalam Masyarakat

Erlita Permatasari
2Pa07 - 13514631
Kesehatan Mental#



Pendahuluan

Sesungguhnya tidaklah mudah merumuskan secara tepat apa yang dimaksud dengan normal dan abnormal tentang perilaku. (Supratiknya (1995)) Untuk menentukan model orang yang ideal itu tidak ada batasan yang tegas antara perilaku normal dan abnormal. Dibutuhkannya patokan atau ukuran untuk membedakan antara normal dan abnormal itu sendiri. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lain. Akan tetapi apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum, maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal (Kartini Kartono, 2000: 6-7). Jadi normal itu sendiri menunjuk pada standar, sedangkana abnormal (ab= jauh dari) berarti jauh dari atau menyimpang dari standar.

Wermer mengemukakan beberapa acuan yang digunakan untuk menentukan sesuatu sebagai Normal atau Abnormal, diantaranya:
1.      Normal = Rata-rata, kebanyakan orang
Merupakan batasan dengan konsep statistic, dimana suatu tingkah laku dinyatakan normal bila tingkah laku tersebut sama dengan tingkah laku kebanyakan orang dalam kelompoknya. Normal disini berarti kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan budaya, dan gambaran kepribadiannya mendekati gambaran kepribadian masyarakatnya.
Jadi yang harus diperhatikan dalam menggunakan batasan Normal = arata-rata adalah individu tersebut harus dibandingkan dengan kelompoknya, bukan dengan non-kelompoknya.

2.       Normal = sesuatu yang ideal
Dalam definisi ini berarti sesuai dengan keadaan yang didambakan. Tetapi, normal dalam acuan ini jarang tercapai karena sebenarnya setiap orang pasti mengalami ‘gangguan’, dan tidak ada yang sempurna. Maka definisi normal ini dihungkan dengan kemampuan orang untuk mencari jalan dalam mengatasi gangguan tersebut.
Pendekatan ini bersifat humanistic, yaitu melihat satu persatu kasus , sehingga bisa menggolongkan orang-orang yang abnormal kedalam gangguan tertentu.

3.      Normal = mampu menyesuaikan diri, mampu menyelesaikan permasalahan secara efektif , dapat menghargai hubungan antar manusia, bekerja secara produktif untuk mengisi hidupnya.

Dalam acuan ini dikatakan abnormal bila keadaan pikiran atau cara bertingkah lakunya dapat merusak kemampuan seseorang untuk sukses dalam menghadapi tantangan dan kesempatan dalam hidupnya.

Teori

Definisi sehat-normal
  1. Sehat adalah suatu keadaan berupa kesejahteraan fisik, mental, dan sosial secara penuh dan bukan semata-mata berupa absennya penyakit atau keadaan lemah tertentu (World Health Organization-WHO).
  2. Kesehatan mental adalah penyesuaian manusia terhadap dunia dan satu sama lain dengan keefektifan dan kebahagiaan yang maksimum. Ia bukan hanya berupa efisiensi, atau hanya perasaan puas, atau keluwesan dalam mematuhi berbagai aturan permainan dengan riang hati. Kesehatan mental mencakup itu semua. Kesehatan mental meliputi kemampuan menahan diri, menunjukkan kecerdasan, berperilaku denan menenggang perasaan orang lain, dan sikap hidup yang bahagia. Itulah jiwa yang sehat. (Seorang psikiater, Karl Menninger).

Normal menurut Stern (1964)
Stern mengusulkan 4 aspek untuk menilai normal atau tidaknya seseorang, yaitu:
1.     Kemampuan integrasi
Yaitu fungsi ego dalam mempersatukan, mengkoordinasi kegiatan ego ke dalam maupun keluar diri. Semakin terkoordinasi dan terintegrasi suatu perilaku atau pemikiran, makin baik.

2.     Ada tidaknya simtom gangguan
Merupakan pegangan untuk mengevaluasi kesehatan jiwa secara kualitatif.

3.     Kriteria psikoanalisis
Melihat 2 hal sebagai patokan dari kesehatan jiwa, yaitu tingkat kesadaran dan jalannya perkembangan psikoseksual. Makin tinggi tingkat kesadaran seseorang, makin baik atau sehat jiwanya.

4.     Determinan sosiokultural

Pengaruh lingkungan terhadap penilaian suatu gejala sebagai normal atau tidak.

Normal menurut Ulmann & Krasner (1980)
Tingkah laku manusia tidak dapat dilihat secara dikotomis sebagai normal atau abnormal, tetapi harus dilihat sebagai hasil dari keadaan masa lalu dan masa kini, statistik, dan legal (hukum) tentang abnormalitas.

Normal menurut Gladstone (1978)
William Gladstone dalam bukunya “Test Your Own Mental Health” menguraikan pegangan-pegangan praktis untuk menilai kesehatan mental sendiri. Gladstone mengusulkan 7 aspek yang merupakan tingkah laku penyesuaian diri (adaptability) yaitu:
  • Ketegangan
  • Suasana hati
  • Pemikiran
  • Kegiatan (aktivitas)
  • Organisasi diri
  • Hubungan antar manusia
  • Keadaan fisik
Masing-masing aspek memiliki kriteria tingkah laku yang dijadikan pegangan penilaian ‘normal’-nya. Gladstone membaginya kedalam 5 tingkatan, diantaranya:
  • Penyesuaian diri yang normal
  • Penyesuaian ‘darurat’
  • Penyesuaian neurotik (neurotic coping style)
  • Kepribadian atau karakter neurotik
  • Gangguan berat

Definisi Abnormal

Menurut Singgih Dirgagunarsa (1999: 140) mendefinisikan psikologi abnormal sebagai lapangan psikologi yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan kepribadian, yang menyangkut proses dan isi kejiwaan.

Menurut Kartini Kartono (2000: 25), psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas jiwa.

Pada Ensiklopedia Bebas Wikipedia (2009),  pengertian psikologi abnormal dinyatakan “Abnormal psychology is an academic and applied subfield of psychology involving the scientific study of abnormal experience and behavior (as in neuroses, psychoses and mental retardation) or with certain incompletely understood states (as dreams and hypnosis) in order to understand and change abnormal patterns of functioning”.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Psikologi abnormal adalah salah satu cabang ilmu psikologi  (khusus) dan yang dibahas dalam psikologi abnormal adalah segala bentuk gangguan  mental atau kelainan jiwa baik yang menyangkut isi (mengenai apa saja yang mengalami kelainan) maupun proses (mengenai faktor penyebab, manifestasi, dan akibat dari gangguan tersebut).

Analisis

Janice berusia 25 tahun, berkulit putih yang telah dirawat di rumah sakit jiwa karena OCD. OCD nya berupa selalu membersihkan dan mencuci kamarnya dan hampir segala sesuatu yang berada di kamarnya. Dia takut bahwa kuman di kamarnya akan membuat sakit dan akhirnya menyebabkan dia mati. Catatan kasus  menunjukkan bahwa bahkan sebagai seorang anak, Janice prihatin kebersihan, suatu sifat yang dia pikir telah diperoleh dari ibunya. Adiknya meninggal ketika dia berusia 10 tahun, dan ia percaya bahwa ia bertanggung jawab atas kematiannya. Rupanya, ia bermain dengan adiknya dan membiarkan dia memegang adiknya dengan tangan yang kotor untuk menghentikan tangisannya. bagaimanapun, ia sedang bermain di halaman dan seharusnya tidak perlu mencuci tangan sebelum dia menyentuh adiknya. Secara bertahap, ia menjadi terobsesi dengan kuman sebagai pembunuh dan mulai membersihkan dan mencuci semua yang datang untuk kontak dengannya. Hal ini berlanjut selama beberapa tahun sampai kecemasannya tentang kuman dan dia mulai membersihkan dan mencuci secara berkala menjadi kegiatan di kehidupan sehari-hari. Dia didiagnosis oleh dokter keluarganya mengalami OCD dan memerlukan pengobatan Serotonin Reuptake Inhibitor (SRI). Seiring waktu, frekuensi periode OCD menjadi lebih sering dan sulit baginya untuk mengontrol dengan obat-obatan. Saat obat-obatan tidak begitu efektif, ia juga menerima Adjunctive Psychology Therapy. Dia telah dirawat di rumah sakit jiwa sebanyak empat kali dalam satu tahun terakhir. Setiap kali ia diobati dengan obat dan CBT untuk distabilkan. Rawat inap saat ini adalah yang kelima karena dia benar-benar suda lemah kerena OCD-nya, sejauh ini dia tidak dapat meninggalkan kamarnya selain untuk mengurus kebersihan dirinya karena dorongan kecemasannya yang tinggi.

Pembahasan:
1. Disfungsi Psikologis
a. Secara Kognitif: Janice selalu merasa cemasa akan kebersihan dirinya, kakhawatiran yang belebih terhadap kuman-kuman yang ia rasa dapat membuatnya sakit hingga mati. Setiap  ia melakukan suatu kegiatan, ataupun ia bersentuhan dengan orang lain, ia selalu membersihkan dirinya dan ia juga selalu membersihkan kamarnya dan barang-barangnya.
b. Secara Afektif: Janice selalu merasa bersalah atas kematian adiknya, ia merasa ia bertanggungjawab atas kematian adiknya tersebut karena ia telah menyentuh adiknya untuk mengentikannya menangis dengan tangan yang kotor sehingga ia merasa kuman atau hal-hal yang kotor harus dihindari. 
c. Secara Psikomotor: Janice menghindari aktivitas yang menurutnya akan menyebabkan ia menjadi kotor yang akhirnya akan mengancam kesehatan dirinya.

2. Distress (impairment) Hendaya: 
a. Fisik: Janice melakukan aktivitas yang lebih banyak dari biasanya yaitu ia sering melakukan bersih bersih yang akan menyebabkan ia kelelahan dan sakit.
b. Psikis: Janis merasa cemas saat ia melakukan kegiatan dan aktivitas sehari-hari, karena ia khawatir akan terkena kuman dan akan membuatnya sakit. Hal ini membuat suasanya hati dan aktivitas sehari-hari Janice jadi tidak baik.

3. Respon Atipikal
Janice selalu merasa cemas dengan dirinya sehingga ia selalu membersihkan benda-benda kepunyaannya, barang-barangnya, termasuk kamarnya sendiri. dan ini membuat Janice melakukan hal-hal yang dapat mengganggu aktivitas sehari-harinya, dalam budaya disekitarnya hal ini adalah tidak wajar karena janis melakukan kegiatan yang seharusnya tidak dilakukan anak seusianya.

Dari kasus di atas dapat diketahui bahwa Janice menderita atau mengalami gangguan obsesif compulsif (sumber: PPDGJ-III) karena Janice merasa sangat khawatir dan cemas terhadap kebersihan di sekitarnya sehingga ia harus berulang kali membersihkan kamarnya dan dirinya agar tidak terkena kuman yang ia anggap akan membuatnya sakit bahkan mati.


Lovitt. Thomas C. Intoduction to Learning Dissability, New Jersey: Prentice Hall.
Mash, Eric J., David A Wolfe. 2005. Abnormal Child Psychology, 3rd ed. California: Thomson Wadworth.
Supratiknya, 1995, Pengenal Perilaku Abnormal, Yogyakarta : Kanisius
Wardani, Hand Out Psikologi Umum II, Fakultas Mercu Buana Yogyakarta


0 komentar:

Posting Komentar